10 MUHARRAM LEBARAN BAGI ANAK YATIM
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Tahun
hijriyah seperti juga tahun masehi merupakan bagian dari fenomena alam biasa.
Secara ringkas, bila kalender masehi mendasarkan penghitungan pada peredaran
bumi mengelilingi matahari, kalender hijriah mengacu pada peredaran bulan
mengelilingi bumi. Karena itulah kita sering mendengar kalender hijriah disebut
pula kalender qamariyah (qamar artinya bulan), sedangkan kalender
masehi dikenal dengan sebutan kalender syamsiyah (syams artinya
matahari). Dalam ilmu astronomi, kalender hijriah termasuk kategori kalender
lunar, sementara kalender masehi termasuk kategori kalender lunar.
Namun
demikian, di balik posisinya sebagai gejala alam tersebut, terdapat
keistimewaan-keistimewaan karena agama memang menjadikannya demikian. Islam
mengajarkan bahwa ada kelebihan-kelebihan tertentu antara satu bulan dengan
bulan yang lain dalam kalender hijriah. Sebagaimana firman Allah dalam Surat
at-Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua
belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus."
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa tidak semua bulan berkedudukan sama. Dalam Islam ada
empat bulan utama di luar Ramadhan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan
Rajab. Karena kemuliaan bulan-bulan itulah, Islam menganjurkan pemeluknya untuk
memanfaatkan momentum tersebut sebagai ikhtiar memperbanyak ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah. Mereka didorong untuk memperbanyak puasa,
dzikir, sedekah, dan solidaritas kepada sesama.
Dalam Ihya’
Ulûmid-Dîn, Imam Al-Ghazali mengenalkan istilah al-ayyâm
al-fâdhilah (hari-hari utama). Menurutnya, hari-hari utama selalu
dijumpai dalam tiap minggu dan bulan. Al-Ghazali juga menyebut istilah al-asyhur
al-fâdlilah (bulan-bulan utama). Bulan-bulan utama ini juga selalu
dijumpai di tiap tahun.
Waktu
adalah salah satu dari makhluk Allah, seperti juga manusia, jin, dan binatang.
Namun, sebagaimana ada tempat-tempat utama, seperti Multazam, Masjid Nabawi,
Masjidil Haram, dan lainnya, waktu pun demikian. Dalam tiap rentang waktu
tertentu (hari, pekan, bulan, dan tahun) selalu terkandung bagian waktu yang
diistimewakan, misalnya waktu antara maghrib dan isya, sepertiga malam
terakhir, hari Jumat, bulan Ramadhan, bulan Muharram, dan lain sebagainya.
Dalam waktu-waktu spesial itulah pahala bisa dilipatgandakan, dosa-dosa bisa
dihapus, dan doa-doa kemungkinan besar dikabulkan.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Allah
memang telah menganugerahi kita kesempatan-kesempatan emas yang demikian
banyak. Allah mengutamakan waktu-waktu tertentu karena hendak memberi keutamaan
pada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana keterangan Ibnu ‘Asyur saat menafsirkan Surat
at-Taubah ayat 36 tadi:
“Ketahuilah bahwa dimuliakannya sejumlah waktu dan
tempat tertentu merupakan kehendak dimuliakannya manusia, melalui
perbuatan-perbuatan baik dan akhlak mulia yang mereka lakukan.” (Muhammad Ibnu
‘Asyur dalam at-Tharîr wat Tanwîr)
Pernyataan
Ibnu ‘Asyur mengandung pengertian bahwa kemuliaan bulan tertentu tidak mutlak
berarti kemuliaan umat Islam secara otomatis. Kemuliaan umat Islam mengandung
syarat, yakni ketika mereka mau mengisi waktu-waktu khusus tersebut dengan amal
saleh dan akhlakul karimah.
Keutamaan
bulan-bulan khusus adalah satu hal, dan keutamaan pribadi orang-orang Islam
adalah hal yang lain. Keistimewaan bulan Muharram adalah satu soal, sementara
keistimewaan individu-individu kaum Muslimin adalah soal lain. Hal tersebut
sangat tergantung bagaimana kita umat Islam merespons keutamaan-keutamaan yang
diberikan Allah itu kepada kita: apakah mengisinya dengan baik atau tidak.
Di antara
amalan yang amat dianjurkan di bulan pertama kalender hijriah ini adalah puasa.
Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dijelaskan, "Seseorang datang menemui
Rasulullah ﷺ dan
bertanya, ‘Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal?' Nabi menjawab,
‘Puasa di bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram.”
Penyebutan
Muharram sebagai “bulan Allah” (syahrullâh) menunjukkan posisi bulan ini
yang amat spesial. Melalui riwayat Ibnu Majah pula, puasa pada hari ‘Asyura (10
Muharram) disebut sebagai bagian dari amalan untuk menghapus dosa-dosa setahun
yang telah lewat. Selain 10 Muharram, puasa juga masih dianjurkan pada
hari-hari lain di bulan ini.
Amalan
lain yang bisa digiatkan adalah meningkatkan solidaritas antarsesama.
Kebanyakan umat Islam, utamanya di Indonesia, menjadikan momen Muharram sebagai
“lebaran anak yatim” dengan memberikan santunan kepada anak-anak yang
kehilangan orang tua dan secara ekonomi lemah. KH Shaleh Darat dalam Lathaifut
Thaharah wa Asrarus Shalah mengistilahkan 10 Muharram sebagai bagian
dari hari raya umat Islam yang layak diperingati dengan sedekah kepada fakir
dan miskin.
Tentu
saja menyantuni anak yatim atau membantu siapa pun yang butuh pertolongan tak
terikat dengan waktu. Tapi Muharram adalah momen sangat baik untuk menunjukkan
kepedulian sosial kita. Bulan mulia harus diisi dengan perbuatan mulia. Al-a‘mâl as-shâlihah wal akhlâq al-karîmah
yang disebut Ibnu ‘Asyur harus hadir jika kita ingin meraih berkah keutamaan
bulan Muharram. Pengertian amal saleh dan akhlak mulia amat luas, mencakup
ibadah dengan Allah, berhubungan dengan masyarakat, atau sikap kita terhadap
lingkungan alam kita.
Bulan
Muharram merupakan bulan yang bagus untuk mengawali tahun dengan perbuatan dan
perangai positif. Muharram bisa dikatakan cerminan langkah awal kita untuk
menapaki 11 bulan berikutnya di pembukaan tahun baru hijriah ini. Al-faqir
mengajak kepada diri sendiri dan jamaah sekalian untuk memuliakan bulan ini
dengan menjernihkan hati, membenahi perilaku, dan memperindah karakter
kepribadian kita.
0 Response to "Khutbah: Bulan Muharram Mari Kita Perbanyak dengan Amal Kebajikan "
Post a Comment